Lembata,IndonesiaSurya.Com - Masyarakat Lembata khususnya Atadei tentu tidak akan lupa hari naas, Tepatnya 18 Juli 1979 atau 19 Juli dini hari, Kampung Waiteba, Kecamatan Atadei, tersapu gelombang pasang yang naik setinggi 50 meter.
Dari berbagai literasi diketahui, ada 539 orang tewas, 364 orang hilang dan 470 orang lainnya menderita luka-luka.
Mengutip pernyataan Gubernur NTT Aloysius Benedictus Mboi (Ben Mboi), International Herald Tribune pada 24 Juli 1979 menyebutkan Tsunami telah menewaskan 539 orang, sebagian terkubur akibat tertimbun material longsoran di empat desa. Menurut laporan penelitian geolog Raphael Paris dkk, jumlah korban berkisar 550 sampai 1.200 jiwa.
Salah satu catatan awal mengenai bencana tersebut pernah ditulis oleh Joedo D. Elifas berjudul “Laporan Hasil Peninjauan Bencana Alam di Selatan Pulau Lomblen, Kabupaten Flores Timur, Nusa Tenggara Timur" (1979). Tsunami menghantam pesisir selatan Lembata sepanjang lebih kurang 50 km dari Teluk Labala di bagian barat hingga Teluk Waiteba ke timur. Elifas menemukan jejak sampah di ketinggian tujuh meter yang tersangkut di pohon lontar. Gelombang tinggi juga dilaporkan mencapai Lamalera.
Katalog Tsunami Indonesia Tahun 416-2017 yang dikeluarkan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyebutkan air masuk ke darat sejauh 400 sampai 500 meter dan menerjang bukit setinggi 10 meter. Garis pesisir selatan Pulau Lembata berupa teluk dan semenanjung.
Menurut Elifas, Tsunami Lembata muncul setelah ada gerakan massa tanah di antara kampung Atalojo dan Bauraja.
Yudhicara dkk dalam penelitiannya berjudul "Geothermal System as the Cause of the 1979 Landslide Tsunami in Lembata Island, Indonesia" (2015,) memberikan perspektif lain ketika mengurai penyebab Tsunami Lembata 1979. Mereka meninjau longsoran yang terjadi di sekitar komplek Gunung Api Iliwerung dengan menggunakan pendekatan studi geotermal.
Penelitian lapangan Yudhicara dkk pada 2013 menunjukkan titik sumber air panas di sekitar lokasi longsoran yang membuat tanah menjadi asam karena proses magmatisme di bawah. Ini juga merupakan alasan mengapa tanah rapuh, kendur, tidak terkonsolidasi, dan mudah berpindah.
Hasil analisis Mineralogi Difraksi Sinar-X (XRD) juga menunjukkan bahwa tanah asli terdiri dari mineral kristobalit, kuarsa, dan albite. Sedangkan material tanah longsor terdiri dari mineral lempung seperti kuarsa, saponit, chabazite, silikon oksida, dan coesite yang adalah mineral khas di lingkungan hidrotermal.
Berdasarkan studi lapangan tersebut, Yudhicara dkk menyimpulkan bahwa longsoran dipengaruhi oleh sistem panas bumi aktif di daerah tersebut. Bahkan, pada 2013 saat studi lapangan dilakukan, bekas alur longsoran masih terlihat gundul gersang dan kontras dengan daerah sekitarnya yang hijau lebat. Kandungan sulfat yang tinggi mencapai 3458,61 ppm menjadi alasan mengapa tak ada vegetasi yang tumbuh di material tanah longsor, meski peristiwa sudah puluhan tahun berlalu. sumber Tirto.id